Sunah Rasulullah, Si Kayu Absurd Anti Kuman Pencegah Kanker


Bersiwak (sumber via islamkhafah.com)

Pesan Rasulullah dibalik proposal memakai siwak.

Masih banyak orang yang belum memakai siwak "si kayu ajaib" ini. Padahal rasulullah sangat menganjurkan memakai siwak ini. 

Dan sudah terbukti keistimewaan dan keuntungannya sangat banyak.

Islam mempunyai kepedulian yang sangat besar terhadap kesehatan dan kebersihan. Kadar perhatian ini, contohnya terlihat terang pada sebuah hadits:

“Kesucian merupakan separuhnya iman” (H.R. Muslim).

Pengertian kebersihan dan kesucian yang dimaksud oleh Islam tentu sangat luas, yang meliputi kebersihan dan akidah yang salah, sifat-sifat yang tercela, serta tindakan-tindakan yang tidak terpuji.

Dalam istilah sufi, upaya penyucian itu disebut al-takhalli yakni terbebasnya seseorang dari adat yang tercela dan dosa. al-takhalli selanjutnya disusul dengan al-tahalli, yaitu menghiasi diri dengan adat danperbuatan baik. sehabis itu seseorang akan mencapai al-tajalli.

Dengan demikian, Islam menekankan keseimbangan antara lahir dan bathin, jiwa dan raga, material dan spiritual, dunia dan ukhrawi. Keseimbangan ini terwujud dalam kasus kebersihan. Sebagai agama, Islam tidak hanya memerintahkan umatnya membersihkan hati dan akhlak, tapi juga tubuh secara keseluruhan, yang salah satu caranya ialah dengan bersiwak (menyikat gigi) secara rutin.

Anjuran Rasulullah wacana bersiwak

Sebenarnya bersiwak bukanlah kasus gres bagi umat Islam. Bukan 100 atau 200 tahun yang kemudian mereka gres mengenalnya.

Jauh sebelum itu, lebih dari lima belas masa yang kemudian Rasulullah Saw. telah memerintah umatnya untuk membiasakan diri bersiwak sebagai terlihat dalam banyak hadits, menyerupai termaktub dalam kitab Shahih Muslim: I, 24 dan Jawahir al-Bukhari; 84.

Misalnya diriwayatkan dari orang bau tanah Abu Burdah bahwa dia pernah menemui Rasulullah Saw, dalam keadaan bersiwak. Bahkan tradisi bersiwak sudah dimulai Nabi Ibrahim A.S. (al-Bajuri: I; 42).

Dalam hadits lain riwayat An-Nasa’i, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


السِّواكُ مَطهَرةٌ للفَم.

“Siwak sanggup mensucikan mulut”.

Yakni siwak ialah alat yang sanggup membersihkan verbal dari wangi yang tidak sedap. Sedangkan kemakruhan bersiwak sehabis zawal bagi seorang yang berpuasa ialah berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim.


لخلُوفُ فمِ الصّائمِ أطيَبُ عندَ الله مْن رِيحِ المِسكِ.

“Sesungguhnya perubahan wangi verbal orang yang berpuasa berdasarkan Allah lebih wangi dari pada wangi wangi minyak kasturi”.

Makna lebih wangi disini ialah pahala berpuasa yang berakibat timbulnya wangi verbal yang tidak sedap, lebih besar dari pada memakai minyak kasturi (misik).

Kemudian, ketika bangun untuk melaksanakan shalat. Kesunatan bersiwak di waktu ini lebih berpengaruh dari pada waktu-waktu yang telah disebutkan di atas. Rasulullah bersabda:


لَولا أن أَشُقَّ على أُمّتي لأَمَرْتُهُم بالسّواكِ عندَ كلِّ صَلاةٍ

“Jika saya tidak merasa menambah berat pada umatku, maka saya akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali akan shalat”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam bersiwak disunatkan niat ittiba’ (menauladani sunat Rasulullah), dan bersiwak secara horizontal berdasarkan hadits riwayat Abu Daud dalm “al-Marasil”:


إذا اسْتَكتُم فاستاكُوا عَرْضًا

“Jika kalian bersiwak maka bersiwaklah secara horizontal”.

Diangkat dari beberapa hadits tersebut, para ulama berkesimpulan bersiwak hukumnya sunnah.

Anjuran bersiwak berlaku kapan dan di mana saja kecuali bagi orang berpuasa sehabis lingsir matahari (zawal) hingga terbenam.

Bersiwak pada ketika itu hukumnya makruh, pengecualian ini berangkat dari sebuah hadits yang menginformasikan bahwa wangi verbal orang berpuasa yang tidak sedap itu di sisi Allah Swt. lebih wangi dari pada minyak misik. Jika Allah Swt. menyukai hal itu, sudah seyogyanya tidak dihilangkan.

Sebenarnya kasus ini termasuk duduk kasus khilafiyah (materi perdebatan). Terbukti ada ulama yang tidak menghukumi makruh. (al-Bajuri: I; 43).

Meskipun secara umum bersiwak dianjurkan , ada waktu-waktu tertentu bersiwak lebih ditekankan dari pada ketika yang lain.

Waktu yang sangat dianjurkan bersiwak yakni :
  1. ketika hendak mengerjakan shalat sebelum berwudlu 
  2. Membaca al-quran, hadits, atau ilmu-ilmu syar’i, 
  3. Sebelum dan sehabis tidur, 
  4. Dan ketika wangi verbal bermetamorfosis tidak sedap akhir makan bawang, pete, dan sejenisnya, atau alasannya membisu terlalu lama.


Dari segi alat, berdasarkan para ulama, segala benda bergairah yang biasa menghiangkan kotoran yang melekat pada gigi sanggup dipakai untuk bersiwak, menyerupai kayu arak (kayu siwak), dan kain.

Makara bersiwak tidak harus memakai sikat dan pasta gigi menyerupai yang selama ini kita kenal. Kalau contohnya tidak bisa membeli pasta gigi, kita bisa bersiwak dengan kayu siwak yang banyak diperjualbelikan, atau meminta kepada orang yang pulang dari tanah suci Makkah.

Kayu itu sangat murah, dan tidak membutuhkan pasta gigi. Makara sangat mudah dan ekonomis. Hasilnya pun tidak kalah dari sikat yang biasa kita pakai dengan pasta gigi sehari-hari. Para ulama tidak hanya membahas dari segi aturan bersiwak, mereka juga menjelaskan faedahnya.

Keistimewaan dan manfaat bersiwak

Seperti yang dilansir oleh harianislam.id, Sebagaimana termaktub dalam kitab al-Iqna’ : I; 214, dengan bersiwak kita mendapat beberapa laba yakni,
  1. memperoleh ridha Allah
  2. melipatgandakan pahala ibadah
  3. menjadikan gigi lebih putih dan bersih
  4. menghilangkan wangi verbal yang tidak sedap
  5. memperkuat gusi
  6. memperlambat tumbuhnya uban di kepala
  7. punggung tetap lurus (tidak bengkok)
  8. mempertajam kecerdasan dan memertajam penglihatan
  9. Dapat mencegah penyakit kanker

Karena itu, jikalau umat Islam masih kurang mengatakan kasus kesehatan khususnya bersiwak, terang hal itu lebih alasannya masih sempitnya pemahaman wacana pedoman agama, di samping keminiman kesadaran akan arti penting kesehatan secara umum, akhir tingkat rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan..

Kebersihan merupakan salah satu kasus yang sangat ditekankan oleh Islam, tetapi kurang mendapat perhatian dengan semestinya oleh umatnya, justru umat lain yang mengamalkan.

Wallahu A'lam.

0 komentar

Posting Komentar